Bahasa dan membaca
Bahasa adalah kode yang disepakati oleh masyarakat sosial yang mewakili ide-ide melalui
penggunaan simbol-simbol arbitrer dan kaidah-kaidah yang mengatur kombinasi simbolsimbol
tersebut (Bernstein dan Tigerman, 1993). Kode linguistik mencakup kaidahkaidah
kompleks yang mengatur bunyi, kata, kalimat, makna dan penggunaannya.
Komunikasi adalah proses di mana individu-individu bertukar informasi dan saling
menyampaikan buah pikirannya. Komunikasi merupakan proses aktif yang menuntut
adanya pengirim yang menyandikan atau merumuskan pesan. Komunikasi juga menuntut
adanya seorang penerima yang menafsirkan sandi atau memahami pesan tersebut. Banyak
isyarat non-linguistik yang dapat membantu atau menghambat pengirim dan penerima
dalam komunikasi lisannya. Tetapi komunikasi melalui bacaan dan tulisan sepenuhnya
tergantung pada bahasa penulis dan pembacanya, pada pengetahuannya tentang kata-kata
dan sintaks. Tetapi, pertama-tama, komunikasi melalui membaca dan menulis dalam
masyarakat yang menggunakan bahasa tulis yang alfabetik, tergantung pada pengetahuan
dan kesadaran penulis dan pembacanya tentang prinsip-prinsip utama bahasa tulis itu,
yaitu prinsip fonematik atau alfabetik dan prinsip morfematik. Pemahaman prinsipprinsip
ini tergantung pada pemahaman tentang struktur bunyi dan bagian-bagian
bermakna dari kata-kata seperti unsur-unsur gramatik. Tetapi karena membaca juga
berarti menyampaikan makna struktur ortografik tertulis yang mewakili kata-kata dan
kalimat, maka kosa kata dan pemahaman tentang berbagai struktur kalimat juga
merupakan hal yang sangat penting untuk perkembangan membaca.
Bahasa merupakan suatu sistem kombinasi sejumlah komponen kaidah yang kompleks.
Bloom dan Lahey (1978) memandang bahasa sebagai suatu kombinasi antara tiga
komponen utama: bentuk, isi dan penggunaan. Bentuk suatu ujaran dalam bahasa lisan
dapat digambarkan berdasarkan bentuk fonetik dan akustiknya, tetapi bila kita hanya
menggambarkan bentuknya saja, maka kita akan terbatas pada penggambaran bentuk
atau kontur fitur permukaan ujaran saja. Ini biasanya dilakukan berdasarkan unit fonologi
(bunyi atau struktur bunyi), morfologi (unit-unit makna berupa kata atau infleksi), dan
sintaks (kombinasi antara berbagai unit makna).
Isi bahasa adalah maknanya atau semantik- yaitu representasi linguistik dari apa yang
diketahui seseorang tentang dunia benda, peristiwa dan kaitannya. Representasi linguistik
tentang isi bahasa tergantung pada kode - yaitu suatu sistem isyarat arbitrer yang
konvensional - yang memberi bentuk kepada bahasa (Bloom dan Lahey, 1978).
Menurut Bloom dan Lahey (1978), penggunaan bahasa terdiri dari pilihan perilaku yang
ditentukan secara sosial dan kognitif berdasarkan tujuan si penutur dan konteks
situasinya (hal. 20). Kaidah-kaidah yang mengatur penggunaan bahasa dalam konteks
sosial juga disebut pragmatik (lihat misalnya Bernstein dan Tigerman 1993). Pragmatik
mencakup kaidah yang mengatur bagaimana kita berbicara dalam bermacam-macam
situasi. Pembicara harus mempertimbangkan informasi tentang pendengarnya dan harus
memahami berbagai isyarat non-linguistik yang dapat menghambat atau mendukung
penyampaian pesannya. Kesadaran akan penerima pesan dan kebutuhannya akan
membantu pengirim menciptakan situasi komunikasi yang optimal.
Anak mungkin berkesulitan dalam mengembangkan pengetahuan yang sesuai usia dalam
salah satu dari ketiga dimensi bahasa (isi, bentuk atau penggunaan), dan kesulitan dalam
satu dimensi dapat mengakibatkan kesulitan dalam dimensi lainnya. Kesulitan dalam
dimensi bentuk mungkin terbatas hanya pada fonologi, tetapi kesulitan dalam
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang fonologi bahasa dapat
mempengaruhi perkembangan dalam bidang morfologi dan sintaks.
Masalah dalam kemampuan mengembangkan kemampuan bahasa yang sesuai usia di
dalam berbagai dimensi bahasa biasanya akan menimbulkan masalah dalam
pengembangan kemampuan membaca dan menulis yang sesuai usia. Masalah-masalah ini
mungkin terkait dengan perkembangan membaca pada berbagai tingkatan. Kesulitan
dalam dimensi bentuk dapat mengakibatkan masalah dalam “memecahkan” kode bacaan.
Anak yang bermasalah dalam mengembangkan pengetahuan tentang bentuk bahasanya
dapat bermasalah dalam memahami struktur bunyi dan dalam memahami hubungan
huruf-bunyi yang diperlukan untuk “memecahkan kode” bahasa tulis. Di pihak lain, anak
yang berkesulitan memahami isi bahasa mungkin akan dapat “memecahkan kode”
dengan mudah, tetapi mereka mungkin berkesulitan dalam memahami apa yang
dibacanya. Siswa juga mungkin berkesulitan dalam membaca karena mereka berkesulitan
dalam menggunakan bahasa. Tujuan pengajaran membaca adalah membaca untuk belajar
(atau membaca untuk kesenangan). Pembaca harus dapat masuk ke dalam semacam
dialog dengan penulis. Untuk belajar dan mengerti suatu teks diperlukan pengembangan
strategi untuk memahami maksud penulis. Teks yang berbeda memerlukan strategi yang
berbeda untuk memahaminya.
Perkembangan membaca dan faktor-faktor lingkungan
Sejumlah faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan membaca. Beberapa di
antaranya sudah dibahas di atas. Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa tingkat
melek huruf orang tua berperan penting dalam perkembangan membaca anak (Cox
1987), dan Chall, Jacobs dan Baldwin (1990) menemukan bahwa prediktor terkuat
tentang kemampuan membaca dan pengetahuan kosa kata pada keluarga berpendapatan
rendah adalah lingkungan melek huruf di rumah, pendidikan ibu dan tingkat
ekspektasinya terhadap pendidikan anaknya, dan pendidikan ayah. Tetapi, secara umum,
variabel maternal lebih berpengaruh terhadap perkembangan baca-tulis dan bahasa
dibanding variabel ayah. Chall dan rekan-rekan kerjanya menjelaskan temuan ini timbul
karena ibu menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak-anaknya daripada ayah,
membantu pekerjaan rumah, menjawab pertanyaan, membacakan cerita dan lain-lain.
Tingkat minat ibu terhadap baca-tulis juga signifikan korelasinya dengan perkembangan
membaca anak. Menurut Chall dan rekan-rekan, ekspektasi orang tua dan minatnya
terhadap pekerjaan sekolah anaknya merupakan faktor terpenting, tidak hanya untuk
perkembangan membaca tetapi juga untuk perkembangan semua mata pelajaran sekolah.
Ekspektasi dan keterlibatan orang tua dalam pekerjaan sekolah anaknya harus dimotivasi
jika kurang. Kurangnya dukungan dan keterlibatan dalam masalah sekolah anak lebih
umum terjadi di negara-negara berkembang (lihat Alenyo, 2001) dan karenanya harus
menjadi perhatian besar di beberapa negara.
Namun, penelitian etnografik menunjukkan secara jelas bahwa kemiskinan bukan faktor
penentu utama untuk persiapan baca-tulis yang diperoleh anak di rumah (Adams 1990).
Yang paling menentukan adalah kualitas kegiatan baca-tulisnya. Oleh karena itu,
lingkungan yang miskin pun dapat mempersiapkan anak untuk belajar membaca di
sekolah dengan baik selama mereka mempunyai buku untuk dibaca dan selama orang tua
bersedia membacakan kepada anaknya. Tentu saja ini merupakan tantangan besar di
negara-negara di mana para orang tuanya buta huruf dan sedikit sekali buku yang tersedia
(Lihat Aringo 2001). Perkembangan baca-tulis merupakan tugas nasional, yang akan
mempengaruhi perkembangan ekonomi dan sosial negara. Tantangan terbesar dalam
meningkatkan tingkat baca-tulis tampaknya terletak pada kurangnya bahan bacaan yang
tepat – baik di sekolah maupun di rumah, dan kurangnya jumlah buku yang tersedia bagi
anak di kelas.
Kalaupun kemiskinan bukan merupakan faktor penentu utama kesiapan baca-tulis, Lyster
(1998, dalam pers) menemukan bahwa pendidikan ibu merupakan prediktor penting
untuk perkembangan membaca, meskipun dengan memperhitungkan faktor IQ. Karena
pengaruh Genetik sejauh tertentu menjadi bahan pertimbangan dalam penelitian Lyster,
hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan ibu mungkin dapat menjadi bagian dari alat
ukur konteks linguistik yang diciptakannya bagi anaknya. Bagaimanakah ibu yang lebih
berpendidikan berkomunikasi secara linguistik dengan anaknya dibanding ibu yang
kurang berpendidikan? Apakah mereka membacakan buku untuk anaknya lebih sering
atau dengan cara yang berbeda dari ibu yang kurang berpendidikan? Apakah pencegahan
gangguan membaca sebaiknya dimulai secara tidak langsung dengan mendidik orang tua?
Penelitian oleh Whitehurst, Epstein, Angell, Payne, Crone ddan Fischel (1994)
menunjukkan bahwa mendidik orang tua dari masyarakat sosio-ekonomi rendah tentang
cara berinteraksi dengan anaknya pada saat mereka membacakan untuk mereka,
berdampak positif terhadap perkembangan baca-tulis anak.
Dalam penelitian ini orang tua diminta untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
dimulai dengan kata tanya “apa”, “mengapa”, “di mana” dan “kapan” pada saat sedang
membacakan, untuk membantu anak memahami isi teks. Bahkan jika perkembangan
membaca sejauh tertentu tergantung pada faktor biologi dan genetik, membaca adalah
kemampuan yang sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Salah satu faktor
tersebut, yang belum dibahas, adalah bahasa sehari-hari anak di rumah. Jika bahasa
rumah berbeda dari bahasa yang dipergunakan ketika anak belajar membaca dan menulis,
anak kemungkinan akan menghadapi banyak masalah. Oleh karena itu, jika seorang anak
tidak dapat belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibunya atau jika bahasa ibunya
tidak mempunyai bahasa tulis, bahasa pengantar harus diajarkan kepada anak secara
intensif di samping mengajarinya membaca dan menulis – dan bahkan sebelumnya jika
memungkinkan (Lyster 1999). Situasi ini tampaknya merupakan realitas yang ada di
negara-negara berkembang tertentu meskipun anak diharapkan belajar membaca dan
menulis dalam bahasa ibunya.
Perkembangan membaca dan gangguan membaca
Menurut model membaca dual-route (dua arah), ada dua strategi yang digunakan ketika
membaca kata-kata (Coltheart 1978), yaitu strategi fonematik dan strategi ortografik.
Model-model ini masih mendapatkan dukungan yang kuat. Strategi fonologi/fonematik
melibatkan penggunaan kaidah konversi grafem-fonem untuk memperoleh akses leksikal
ke stimulus tulisan, dan strategi ortografik melibatkan akses leksikal langsung yang
memetakan konfigurasi ortografik dari sebuah kata secara langsung ke penyimpanan
visual internal di dalam leksikon (Siegel 1993). Pengetahuan dan kesadaran morfologi
merupakan satu elemen penting bila menggunakan strategi ortografik. Namun, sejauh
tertentu, kemampuan awal anak untuk menggunakan kedua strategi tersebut tergantung
pada keteraturan bahasa yang digunakan untuk membaca. Bahasa Inggris, misalnya,
sangat tidak teratur dibanding bahasa Jerman dan bahasa Norwegia (lihat misalnya
Hagtvet & Lyster, dalam pers). Satu fonem atau bunyi dalam bahasa Inggris sering kali
digambarkan dengan banyak grafem, sedangkan sebagian besar bunyi dalam bahasa
Norwegia selalu terkait dengan grafem yang sama. Dalam bahasa Inggris, bahasa tulis
juga mempunyai lebih banyak grafem yang terdiri dari dua atau tiga huruf daripada
bahasa Norwegia, misalnya, di mana sebagian besar bunyi hanya digambarkan dengan
satu huruf atau satu grafem yang terdiri dari satu huruf.
Pelatihan keterampilan fonologi tampaknya mempunyai dampak yang sangat kuat
terhadap membaca bila anak diajarkan tentang hubungan antara bunyi dan huruf dan bila
pelatihan kesadaran fonemik dikaitkan secara eksplisit dengan tulisan (Ball & Blachman
1988; Bradley dan Bryant 1983; Hatcher, Hulme, & Ellis 1994). Pelatihan kesadaran
morfologi juga akan lebih efektif jika aktivitas oral dikaitkan dengan tulisan. Sistem
tulisan yang alfabetik biasanya digambarkan sebagai morfo-fonemik, karena representasi
kata-kata sesuai dengan kombinasi antara prinsip morfemik dan prinsip fonemik.
Agar menjadi pembaca yang kompeten, anak harus menggunakan kedua prinsip tersebut
(Adams 1990). Bila seorang anak belajar membaca atau mengeja, penting untuk pertamatama
mengases apakah anak tersebut tahu semua hubungan bunyi-grafem, dan apakah
unit-unit yang lebih besar seperti morfem dapat langsung dikenalinya ketika dia
membaca.
Wimmer dan Goswami (1994) menekankan bahwa untuk dapat membaca cepat dengan
pemahaman, anak yang belajar membaca dalam ortografi yang alfabetik perlu
mengembangkan strategi pengenalan kata secara langsung dan tidak belajar ucapan lewat
penerjemahan grafem-fonem (hal. 102). Kesadaran akan prinsip ini mungkin penting
untuk mengidentifikasi kata-kata secara cepat. Anak-anak yang belajar tentang prinsip
morfologi bahasa tulis di samping prinsip alfabetik dapat memperoleh keuntungan
tambahan bila mengidentifikasi kata-kata yang tertulis, setidaknya jika mereka sudah
belajar hubungan antara huruf dan bunyi. Tampaknya mereka mampu mengidentifikasi
struktur yang lebih besar, misalnya struktur yang mewakili unsur-unsur gramatik, secara
lebih mudah dan lebih cepat dibanding anak-anak yang tidak memiliki pengetahuan
tentang prinsip morfematik.
Pola-pola kesulitan membaca yang digambarkan dalam model-model seperti yang
dikemukakan oleh Spear-Swerling dan Sternberg (1994) mungkin disebabkan oleh
berbagai faktor, termasuk faktor biologis dan lingkungan. Anak mungkin keluar dari jalur
pada titik-titik tertentu menuju kemampuan membaca yang baik, dan perbedaan
individual dalam hal temperamen, motivasi dan inteligensi secara keseluruhan mungkin
terkait dengan variabel-variabel lingkungan untuk menentukan jalur belajar membaca
yang akan diambilnya. Sekali seorang anak atau remaja “terperosok” ke dalam rawa
ekspektasi negatif, motivasi yang rendah dan tingkat praktek yang rendah, maka akan
semakin sulit bagi mereka untuk kembali ke jalan menuju kemampuan membaca yang
baik (Spear-Swerling dan Sternberg 1994).
Anak-anak tertentu, khususnya mereka yang disleksia, tidak akan pernah mampu
membaca dengan kecepatan tinggi dan akan selalu mengalami kesulitan mengembangkan
kemampuan mengeja yang sesuai usia. Disleksia dipandang sebagai gangguan biologis
yang dimanifestasikan dengan kesulitan dalam belajar membaca dan mengeja walaupun
diberi pengajaran konvensional dan memiliki kecerdasan yang memadai (Snowling, 1987).
Akan tetapi, penting untuk dikemukakan kembali bahwa disposisi genetik ini kecil
dampaknya terhadap perkembangan jika intervensi dini pada masa kanak-kanak dan masa
sekolah difokuskan pada pemberian program linguistik yang memuaskan kepada semua
anak untuk pengembangan kemampuan membaca dan mengejanya – dan penting untuk
diingat bahwa keterampilan membaca berkembang melalui latihan praktis. Semakin
banyak anak membaca, akan semakin besar kemungkinannya untuk menjadi pembaca
yang baik. Kenyataan ini juga berlaku bagi mereka yang mengalami kesulitan khusus
mengembangkan keterampilan membaca yang sesuai usia yang disebabkan oleh faktorfaktor
lingkungan, kognitif atau bahkan genetik seperti disleksia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar